Pengetahuan, hal ini adalah sangat menjadi peranan aktif dalam berbagai hal di kehidupan manusia. Bagi manusia hal utama yang sangat penting adalah
keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang
tampak konkret, atau nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, alat elektronik, komputer, dan lain sebagainnya. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya
akan menjadi sebuah pengetahuan. Untuk memperoleh pengetahuan itu, maka
pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat
membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada
saksi yang mengatakan, bahwa benda itu, misalnya motor, memang benar ada dan
berada di tempat parkir atau garasi rumah seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi (karena
sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan
argumen-argumen yang menguatkannya) maka sebenarnya telah muncul suatu
kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan berasal?
Pengetahuan muncul karena adanya gejala.
Gejala-gejala yang melekat pada
sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau
tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat dari
got yang sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul
dihadapan kita. Kita harus “menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan
indrawi, atau observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan
yang lebih menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai
pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Setelah mengenal pengetahuan
yang bersifat empiris, maka pengetahuan empiris itu harus dideskripsikan,
sehingga kita mengenal pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul
bila seseorang dapat melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala
yang nampak olehnya, dan penggambaran tersebut atas dasar kebenaran
(objektivitas) dari berbagai hal yang diamatinya itu.
Selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang dikenal sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pernyataan: “Jika benda A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A pasti tidak dapat hadir di sini”. Dalam matematika, perhitungan 2+2=4merupakan penjumlahan itu sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis.