Istilah dari logika,dilihat dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang
digunakan dengan beberapa arti, seperti ucapan, bahasa, kata, pengertian,
pikiran, akal budi, ilmu. Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat logisyang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang
berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang
tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis,
tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang
lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan,
dan dapat diterima oleh akal sehat.
Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa
sebetulnya logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan
sungguh-sungguh hakekat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya.
Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih
dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu.
Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M.Copi mendefinisikan logika sebagai suatu
studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan
penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip,
definisi ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu.
Definisi ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu
bernalar atau berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain
pihak, harus diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah
memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir yang mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama
sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi
setiap kegiatan penalaran. Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang
tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan
mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga
membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan
kemudian mampu membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.
Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga
suatu seni (art). Dengan
kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal
kemampuan atau ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain.
Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki
bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang
hanya bisa mengembangkan keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir.
Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan
jaminan bagi seseorang dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu
harus terus-menerus dilatih dan dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika,
khususnya logika formal secara akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan
secara serius, merupakan jalan paling tepat untuk mengasah dan mempertajam akal
budi. Dengan cara ini, seseorang lambat-laun diharapkan mampu berpikir sendiri
secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu pula mengenali setiap bentuk
kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri.