Apa itu Filsafat? mengajak kita
untuk menjawabnya secara panjang lebar, kita tidak dapat menjawabnya secara
singkat. Mengapa? Karena pertanyaan itu sendiri, Apa itu filsafat? sebenarnya telah
mengajak kita sendiri untuk berfilsafat. Berfilsafat berarti berusaha mengajak orang untuk
bertanya. Dalam bertanya orang kadangkala menunjukkan sikap heran, skeptis,
atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan
sebagai upaya orang untuk mengetahui sesuatu dengan metode atau cara atau sikap
tertentu. Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai suatu usaha manusia
yang terus- menerus untuk menggali sesuatu sampai ke akar-akarnya.
Kecenderungan manusia untuk mempertanyakan sesuatu secara terus menerus
menyebabkan manusia menjadi lebih kritis, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
sesuatu yang ingin diketahuinya.
Oleh karena itu kita menelusuri pengertian
filsafat lalu memberikan penjelasan dan merumuskannya secara tepat. Pertama,
filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena
kehidupan manusia secara kritis. Kedua, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari berbagai pemikiran manusia secara kritis. Ketiga, filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mencari hakekat dari berbagai fenomena
kehidupan manusia. Keempat, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bersifat
kritis refleksif dalam penyelidikan terhadap objek kajian yang berkaitan dengan
aspek ontologis (realitas konkret), aspek epistemologis (kebenaran
pengetahuan), dan aksiologis (nilai atau value
tentang kebaikan dan keindahan).
Secara historis, filsafat berasal dan didasari
oleh latar belakang kebudayaan bangsa Yunani. Arti philosophia ataupun filsafat secara etimologis (philos dan sophos) berarti senang atau suka mencari kebijaksanaan ataupun
kebenaran. Di masa lalu “kebijaksanaan” ini oleh bangsa Yunani diartikan
mencari pengetahuan yang berguna bagi manusia ataupun mencoba mencari suatu
kebenaran dalam proses berpikir manusia. Pengetahuan yang bersifat praktis
diarahkan misalnya bagaimana menjadi manusia yang sehat, untuk itu olah raga
atau olah tubuh sangatlah diminati. Lihat saja bagaimana mula-mula Olimpiade(pertandingan olahraga dunia) itu muncul. Mulanya untuk menjaga agar badan
tetap sehat, dikembangkan cara untuk membinanya, seperti misalnya dengan
berlari. Mencari kebenaran dalam proses berpikir manusia sudah lama dikenal
oleh bangsa Yunani. Sebagai contoh, berdialog adalah upaya mencari kebenaran
dalam berkomunikasi. Socrates mengajarkan, dalam berdialog kita harus bersikap
aktif, dan dialektis dinamis, dan kita harus seperti seorang bidan yang
membantu persalinan seorang ibu (techne
maieutike), membantu mengeluarkan segala persoalan yang ada dan untuk itu
“yang benar” dan “yang baik” haruslah dijunjung tinggi.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan manusia
dan kemajuan ilmu pengetahuan maka filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai
suatu ilmu (science), yaitu ilmu
filsafat. Sebagai ilmu, filsafat haruslah memiliki objek dan metode yang khas
dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis
refleksif, integral, radikal, logis, sistematis, dan universal (semesta). Lalu,
apa sebenarnya fenomena manusia itu, apa saja gejala yang terlihat ataupun
berada di sekitar manusia? Fenomena tersebut dapat diarahkan pada tema besar
pada ilmu filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan
demikian fenomena tersebut sangat berkaitan dengan ketiga tema ilmu filsafat.
Tema yang pertama, ontologi, mengkaji tentang
keberadaan sesuatu, membahas tentang “ADA” (onta),
yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual maupun secara epistemologi
ataupun metafisis. Yang berkaitan dengan “ADA” misalnya wujud-wujud fisik
seperti alam, manusia benda-benda dan wujud yang epistemologi atau konseptual
misalnya Tuhan, penyebab pertama, gagasan ataupun idea-idea. Tema yang kedua, epistemologi,
membahas tentang pengetahuan (episteme)
yang akan dimiliki manusia apabila ia membutuhkannya. Pada dasarnya manusia
selalu ingin tahu tentang sesuatu, untuk itulah ia mencarinya dan epistemologi
beranjak dari beberapa pertanyaan tentang apa sebenarnya batas-batas
pengetahuan itu dan seperti apa? Struktur pengetahuan itu apa? Kebenaran
pengetahuan itu apa? Tema yang ketiga, aksiologi, membahas tentang kaidah norma
dan nilai yang ada pada manusia. Norma-norma itu berada pada perilaku manusia,
berkaitan dengan “yang baik” dan “yang buruk”, yakni bagaimana seharusnya
menjadi manusia yang baik, dan ukuran atau norma-norma dan nilai-nilai apa yang
mendasarinya. Berbagai pertimbangan atas dasar moral dan etika diberlakukan
pada perilaku manusia tentang “yang baik” dan “yang buruk”, sedangkan
pengalaman tentang keindahan bagi seseorang menjadi semacam “ukuran” estetika
dalam melihat yang indah. Jadi, jelaslah bahwa semua hal yang berkaitan dengan
ontologi, epistemologi, dan aksiologi sangat erat dan menjadi sesuatu yang
mengakar pada manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya secara intelektual.
Sebagai suatu ilmu, filsafat memiliki sasaran atau
objek untuk dikaji. Objek penelitian filsafat haruslah dilihat dari dua aspek.
Aspek pertama adalah objek materi (material), dan aspek kedua adalah objek
forma (formal). Objek materi adalah bahan atau sesuatu yang menjadi kajian
penelitiannya. Materi atau bahan kajian dapat bersifat sangat umum atau sangat
luas sehingga orang belum dapat memfokuskannya secara lebih terperinci. Untuk
itulah aspek kedua, yaitu objek forma, berperan. Objek forma adalah fokus
perhatian seseorang terhadap objek materi yang dihadapinya atau, dengan kata
lain, salah satu aspek atau tema tertentu dalam penelitiannya. Bagi ilmu
filsafat, objek forma muncul dalam bentuk disiplin atau cabang ilmu filsafat
tertentu. Sebagai contoh, filsafat manusia adalah bentuk forma ilmu filsafat,
karena manusia menjadi titik pusat atau fokus perhatian, dan manusia akan
dikaji dalam keterkaitan antara tubuh dan jiwa. Contoh yang lain, filsafat ilmu
pengetahuan adalah objek forma dari ilmu filsafat karena permasalahan ilmu
pengetahuan secara internal (cara kerja ilmiah) dan eksternal (penemuan baru
dalam kegiatan ilmiah) menjadi pusat perhatian dari ilmu filsafat dan akan
dikaji secara kritis dan filosofis.
Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan
terhadap kajiannya sangat penting. Dengan metode yang tepat dan khas, orang
diharapkan dapat memahami persoalan filsafat atau problema filosofis dengan
lebih baik. Berbagai metode yang sifatnya masih sangat umum dapat membantu
orang untuk menjelaskan dan memahami tema-tema filsafat (ontologi, epistemologi,
dan aksiologi). Metode-metode itu antara lain adalah metode kritis-refleksif, metode dialektik-dialog (dari
Socrates), metode fenomenologis (Husserl), dan metode dialektika (Hegel).
Metode kritis refleksif adalah cara untuk memahami
suatu objek atau permasalahan dengan melihatnya secara mendalam dan mendasar
untuk kemudian merenungkannya kembali. Metode ini membutuhkan proses pemikiran
yang terus- menerus sampai seseorang telah menemukan kebenaran atau telah puas
dengan apa yang dikajinya. Selama ia masih meragukan dan ingin bertanya tentang
sesuatu itu, maka metode kritis refleksif tetap digunakannya.
Metode dialektik-dialog dari Socrates adalah cara untuk
memahami sesuatu atau objek kajiannya dengan melakukan dialog. Dialog berarti
berkomunikasi dengan dua arah; artinya, ada seseorang yang berbicara dan ada
orang yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus-menerus dan mendalam
diharapkan orang dapat menyelesaikan segala problema yang ada. Dialektik
berarti proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena
mempertemukan antara ide yang satu dengan ide yang lainnya. Tujuan metode
dialektik-dialog ini adalah mengembangkan cara berargumentasi di mana posisi
yang sifatnya dua arah itu dapat diketahui dan dihadapkan satu dengan yang
lainnya.
Metode fenomenologi, yang dikemukakan oleh seorang
filsuf bernama Edmund Husserl, adalah metode yang digunakan untuk melakukan
persepsi (mengetahui dan memahami) terhadap semua fenomena atau gejala yang
berada di sekeliling manusia dan untuk kemudian menemukan hakekat (eidos) dari seluruh fenomena itu. Eidos
diperoleh dengan cara mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggap
tidak relevan dengan keinginan (kesadaran/rasionalitas) sehingga ditemukan
fenomena murni. Fenomena murni inilah yang disebut atau dikenal sebagai esensi
dari fenomena yang telah ada atau yang semula.
Metode yang bersifat dinamis, yaitu pendekatan
induktif dan deduktif diperkenalkan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles. Metode
ini mengajak kita bernalar secara dinamis dan logis. Penalaran induktif
(mengambil kesimpulan dari yang sifatnya khusus ke yang umum) menawarkan suatu
proses dinamis berpikir tentang suatu realitas yang dihadapi sehingga mampu
mengambil kesimpulan sangat tepat dari apa yang telah diamati dan dipikirkan. Penalaran
deduktif adalah penalaran yang mencoba menarik kesimpulan dari sesuatu yang
bersifat umum ke yang khusus.
Metode dialektika ala Hegel adalah cara untuk
memahami dan memecahkan persoalan atau problema dengan berdasarkan tiga elemen,
yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Tesis adalah suatu persoalan atau problem tertentu
sedang antitesis adalah suatu reaksi atau tanggapan ataupun komentar kritis
terhadap tesis (argumen dari tesa) tersebut. Apabila kedua elemen itu
saling dihadapkan maka akan muncul sintesis,
yaitu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berpikir yang
dinamis, dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang saling
berkontradiksi atau berhadapan itu sehingga dicapai kesepakatan yang rasional
sifatnya.