Filsafat yang akan dibahas kali ini dalam pada awalnya merujuk pada penelusuran secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai pada masa Yunani Kuno. Pada masa itu (abad IV – VI SM), berfilsafat selalu dianggap sebagai upaya manusia dalam mencari kebijaksanaan. Upaya ini tercermin dari etimologi kata filsafat, philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani, senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan kepada kepandaian yang bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan idea atau konsep yang tentunya sejalan dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya gagasan (idea) bangsa Yunani diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan mitos-mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian manusia (bangsa Yunani) sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bahkan dianggap tidak rasional, karena hanya di tangan para Dewalah dunia dengan segala isinya itu hadir diantara mereka.
Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu. Apabila pengetahuan itu bermanfaat, maka peran pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Bagi bangsa Yunani, pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Ketrampilan atau keahlian membuat suatu bangunan, suatu karya sastra, suatu karya musik, atau seni suara, dan keterampilan olah tubuh atau berolahraga. Sebenarnya di dalam pengetahuan praktis tersebut, terdapat upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara bagaimana pengetahuan atau keterampilan praktis itu muncul, berperan, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan manusia secara optimal.
Dalam perkembangannya kemudian, bangsa Yunani mengalami perubahan dalam cara berpikir, cara untuk mendapatkan pengetahuan yang berbeda dengan yang telah ada, yaitu mereka mulai mengembangkan daya penalaran yang lebih rasional dan logis. Penalaran tersebut diaktualisasikan atau dalam pencarian sebab terdalam atau “sebab pertama” dari alam semesta ini. Perubahan cara berpikir dari mitis ke logos (rasional) memunculkan juga pandangan para filsuf yang berusaha menguak rahasia alam dengan berbagai pendapat atau argumen yang lebih rasional. Filsuf alam yaitu Thales, misalnya yang berpendapat bahwa asas di dunia ini adalah air, sementara Anaximandros mengatakan asas itu adalah “yang tidak terbatas” (apeiron). Anaximenes menyebut udara sebagai asas pertama. Beberapa filsuf lain yang secara tidak langsung mewariskan pengetahuan pada umat di dunia ini ialah Plato (dengan dunia idea), Aristoteles (dengan teori materi bentuk—hilemorfisme), Phytagoras (dengan dasar perhitungan aritmatika dan dalil Phytagoras), dan Hipocrates (ahli pengobatan yang dianggap sebagai Bapak Kedokteran).

Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan (Middle Ages, abad I—IX). Awal Abad Masehi ini ditandai oleh munculnya para pujangga Kristen yang mendasarkan pengetahuan keagamaan secara teologis. Alam pemikiran manusia di masa itu bersifat teosentris dan imago dei. Bersifat teosentris berarti pengetahuan manusia didasarkan pada ajaran teosentris atau agama, sedang imago dei berarti bahwa manusia dianggap sebagai citra Tuhan, berperilaku dan bertindak haruslah sesuai dengan keinginan Tuhan dan ajaran keagamaan. Pada Abad Pertengahan terjadi pertukaran kebudayaan antara bangsa Timur dengan bangsa Barat. Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani Klasik. Banyak filsuf Arab seperti Ibnu Sina sangat berminat pada ajaran Aristoteles dan ia memberikan dasar ilmu pengetahuan kedokteran kepada Barat. Karya-karya bangsa Yunani, khususnya ajaran Aristoteles, banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para filsuf Arab, dan dari sanalah para filsuf Barat menerjemahkan dan mempelajarinya serta mengembangkannya ke dalam pemikiran para filsuf Barat.
Setelah Abad Pertengahan, muncul Abad Renaissance (X—XVII). Abad ini merupakan abad yang sangat memperhatikan dan berpusat pada “kekuatan” manusia, tidak hanya kekuatan yang bersifat fisik, melainkan kemampuan akal budi manusia. Pengertian Renaissance atau kelahiran kembali diartikan sebagai lahirnya atau dihidupkannya kebudayaan Yunani Kuno dan Roma. Pada awalnya Abad Renaissance ditandai dengan gerakan kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba menghadirkan karya-karya seni yang bernafaskan atau bergaya Yunani Kuno dan Roma. Berbagaikarya seni seperti seni pahat, seni lukis, seni bangun – arsitektur, dan kesusasteraan sangat mewarnai kehidupan bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian itu disebut juga Gerakan Seni Humanisme (memuncak pada abad XIV), yang pada karya-karya seni itu bercirikan harmonisasi di setiap bidang atau bagian, baik dari struktur, bentuk, ragam hias maupun estetisnya. Ciri lainnya adalah tampilnya nilai-nilai kemanusiaan, karya seni dan manusia dilihat secara alamiah atau natural serta nilai keagungan, yaitu menampilkan karya seni dalam kemegahan dengan membangun bangunan ataupun patung, lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan penuh dengan ragam hias/detil yang sangat beragam. Dari gerakan seni humanisme ini manusia Renaissance mulai mengadakan penyelidikan tentang pengetahuan yang mengarah pada kekuatan alam semesta. Timbullah minat untuk menyelidiki ilmu pengetahuan kealaman dengan keinginan yang sangat besar untuk menguak rahasia alam. Alam semesta diamati, dan diselidiki dengan ketelitian yang sangat cermat yang didukung oleh pemikiran yang sangat rasional, bahkan sangat kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaissance seperti Pertrarca, Bocasio, Eramus, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Galileo Galilei, Copernicus, dan J. Keppler sangat berperan dalam perkembangan seni dan ilmu pengetahuan kealaman di dunia ini.
Abad berikutnya adalah Abad Pencerahan (Aufklaerung) (abad XVIII). Puncak kejayaan bangsa Eropa ditandai dengan hadirnya masa Aufklaerung (yang disebut juga masa Pencerahan atau Fajar Budi). Abad ini merupakan kelanjutan dari masa Renaissance, kemampuan akal budi manusia diaktualisasikan dengan munculnya ilmu pengetahuan kealaman yang didukung oleh berbagai percobaan yang berlandaskan aspek metodologis dan akademis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad Renaissance memunculkan kaum intelektual di berbagai universitas di Eropa, yang mencoba menggabungkan unsur teoretis dengan unsur praktis. Mereka berupaya agar ilmu pengetahuan memiliki peran dan berguna bagi orang banyak. Gerakan intelektual berkembang cepat di kawasan Eropa, seperti di Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda. Salah satu sumbangan bagi kemajuan khasanah ilmu pengetahuan adalah munculnya kaum ensiklopedis yang berusaha menyusun pemikiran-pemikiran tentang ilmu pengetahuan, dan kesenian ke dalam sejumlah buku yang kemudian lebih dikenal sebagai ensiklopedia. Salah satu ensiklopedi yang tertua adalah ensiklopedi Britanica. Tokoh yang sangat terkenal dalam bidang fisika adalah Newton, David Hume tokoh Empirisme dari Inggris, serta Voltaire, Montesquieu dan J.J. Rousseau yang berasal dari Prancis, mereka adalah para ahli di bidang kenegaraan dan politik.
Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca-Aufklaerung yang mulai berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Masa ini ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu filsafat yang otonom, artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis ke-kritisan-nya dalam menganalisis kajiannya. Sedang ilmu pengetahuan berkembang menjadi tiga kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan kealaman, ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut berkembang pula sehingga memiliki banyak cabang ilmu. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia, maka pendekatan yang sifatnya kajian lintas ilmu, atau multidisiplin, menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling bekerja sama untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia yang semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan berlomba menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus globalisasi yang semakin cepat.