Berikut adalah pemahaman tentang salah satu dari penalaran, yaitu logika induktif. Jenis logika ini berurusan dengan penalaran
induktif. Tidak seperti dalam penalaran deduktif, dalam penalaran induktif,
akal budi justru beranjak dari pengetahuan lama mengenai sejumlah kasus sejenis
yang bersifat khusus, individual, dan konkret yang ditemukan dalam pengalaman
inderawi, dan atas dasar itu menyimpulkan pengetahuan baru yang bersifat umum.
Misalnya, observasi empiris terhadap sejumlah orang Jawa dari berbagai profesi
dan latar belakang pendidikan, ternyata berturut-turut memperlihatkan
hasil yang sama pula, yakni suka minum jamu. Bila hasil observasi itu
dituangkan dalam argumen induktif, maka bentuknya akan tampak seperti dalam Tabel : Argumen Induktif.
ARGUMEN INDUKTIF
|
|
(A)
|
(B)
|
Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu.
|
Fauzi (orang Jawa, pengusaha)
suka minum jamu.
|
Sutrisno (orang Jawa, anggota
DPR) suka minum jamu.
|
Sutrisno (orang Jawa, anggota
DPR) suka minum jamu.
|
Shinta (orang Jawa, penyiarTV) suka minum jamu.
|
Shinta (orang Jawa, penyiar TV)
suka minum jamu.
|
Jadi, semua orang Jawa suka
minum jamu.
|
Bachtiar (orang Jawa, pesulap)
suka minum jamu.
|
Fadillah (orang Jawa, tukang
baso) suka minum jamu.
|
|
Dewi (orang Jawa, pedangdut)
suka minum jamu.
|
|
Jadi, semua orang Jawa suka
minum jamu
|
Dari kedua contoh argumen induktif, masing-masing
(A) dan (B), di atas tampaklah bahwa kesimpulan-kesimpulannya merupakan
generalisasi karena kesimpulan-kesimpulan tersebut menyebutkan kasus yang lebih
banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah kasus yang disebutkan dalam
premis-premisnya. Dalam hal seperti ini selalu ada bahaya bahwa orang melakukan
generalisasi tergesa-gesa; artinya, terlalu cepat menarik kesimpulan yang
berlaku umum, sedangkan jumlah kasus yang digunakan sebagai landasan dalam
premis-premis tidak atau kurang memadai. Untuk itu orang harus mempelajari
ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu penelitian ilmiah agar
kesimpulan yang berupa generalisasi tersebut dapat dipertanggung-jawabkan
kebenarannya.
Kedua contoh argumen di atas juga memperlihatkan
bahwa kesimpulan-kesimpulannya berbentuk sintesis atau penggabungan dari
kasus-kasus yang digunakan sebagai titik tolak penalaran. Karena itu, penalaran
induktif sering disebut juga penalaran sintetis. Selain itu, karena kasus-kasus
yang menjadi titik tolak argumen induktif merupakan hasil pengamatan inderawi,
maka argumen induktif selalu bersifat aposteriori.
Atas dasar itu, setiap argumen induktif selalu
memiliki tiga ciri khas. Pertama, sintetis; artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan menyintesakan
atau menggabungkan kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, general artinya kesimpulan
yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum
sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga, aposteriori; artinya, kasus-kasus konkret
yang dijadikan landasan atau titik tolak argumen selalu merupakan buah hasil
pengamatan inderawi. Ciri-ciri yang demikian itu menyebabkan setiap argumen
induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan kerena itu
kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak.
Suatu argumen induktif hanya dapat dinilai lebih
baik atau kurang baik, tergantung seberapa besar (tinggi) derajat kebolehjadian
(probabilitas) yang diberikan premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti,
semakin banyak kasus sejenis yang dijadikan landasan argumen (alasannya
memadai), semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin besar
(tinggi) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin baik argumen
yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit (kurang) kasus sejenis yang
digunakan sebagai titik tolak argumen (alasannya kurang memadai), semakin kecil
(rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil (rendah) probabilitas
kesimpulan suatu argumen induktif, semakin kurang baik argumen induktif yang
bersangkutan. Dengan demikian, mengenai kedua contoh argumen induktif di atas,
harus dikatakan bahwa argumen (A) kurang baik jika dibandingkan dengan argumen
(B), atau sebaliknya, argumen (B) lebih baik daripada argumen (A).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hanya dalam
logika deduktif formal diperhatikan tepat tidaknya sifat hubungan antara
premis-premis dan kesimpulan dan dengan demikian hanya dalam lingkup logika deduktif formal saja, suatu penalaran atau argumen dapat dikatakan sahih atau
tidak sahih. Dengan kata lain, perbincangan tentang tepat tidaknya atau logis
tidaknya suatu penalaran hanya dapat dilakukan dalam konteks logika deduktif
formal. Atas dasar itu, bila dalam pembahasan selanjutnya dalam buku ajar ini
diuraikan tentang kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis, maka yang dimaksudkan
adalah penalaran deduktif formal sedangkan penalaran induktif tidak akan dibicarakan